Gobal Warming  

Posted by agustinus aton

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap tanggal 22 April, masyarakat dunia khususnya masyarakat peduli lingkungan memperingatinya sebagai Hari Bumi. Peringatan yang pertama kali dilakukan pada 22 April 1970 di Amerika Serikat atas prakarsa seorang senator yang bernama Geylord Nelson itu, bagi pejuang lingkungan hidup merupakan momen untuk mendesak masuknya isu lingkungan hidup dalam agenda tetap nasional dan mengingatkan manusia akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup. Isu dunia tentang lingkungan yang terhangat saat ini adalah masalah pemanasan global (global warming) dan akibat-akibatnya bagi kehidupan manusia

Pemanasan Global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Pemanasan Global disebabkan diantaranya oleh “Greenhouse Effect” atau yang kita kenal dengan Efek Rumah Kaca”. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.

Istilah efek rumah kaca, diambil dari cara tanam yang digunakan para petani di daerah iklim sedang (negara yang memiliki empat musim). Para petani biasa menanam sayuran atau bunga di dalam rumah kaca untuk menjaga suhu ruangan tetap hangat. Kenapa menggunakan kaca/bahan yang bening? Karena sifat materinya yang dapat tertembus sinar matahari. Dari sinar yang masuk tersebut, akan dipantulkan kembali oleh benda/permukaan dalam rumah kaca, ketika dipantulkan sinar itu berubah menjadi energi panas yang berupa sinar inframerah, selanjutnya energi panas tersebut terperangkap dalam rumah kaca. Demikian pula halnya salah satu fungsi atmosfer bumi kita seperti rumah kaca tersebut.

Mungkin anda menduga, udara yang akhir-akhir ini makin panas bukanlah suatu masalah yang mesti kita risaukan. Mana mungkin tindakan dari satua-dua orang makhluk hidup bisa mengganggu kondisi planet bumi yang mahabesar ini. Mungkin itu semua yang ada dipikiran kita. Hasil pengamatan ilmuan dari berbagai Negara sangat mengejutkan.

Selama tahun 1990-2005 ternyata telah terjadi peningkatan suhu yang merata diseluruh bagian bumi, yakni antara 0,15-0,3ÂșC. Jika peningkatan suhu it uterus berlanjut, maka diperkirakan pada tahun 2040 (atau sekitar 31 tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh.

1.2 Permasalahan

Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan masalah yang di hadapi adalah apa penyebab dan akibat dari pemanasan global ?.

1.3 Tujuan Permasalahan

Tujuan permasalahan yang dihadapi yang terdapat dalam makalah ini adalah

1. Menambah pengetahuan tentang pemanasan global;

2. Mengetahui penyebab dan akibat dari pemanasan global.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemanasan Global

Pemanasan global atau yang sering kita sebut global warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.

Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan clorofluorocarbon (CFC) yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca.

Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18°C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.

2.2 Penyebab dan Akibat dari Pemanasan Global

2.2.1 Penyebab Pemanasan Global

Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan International Panel on Climate Change (IPCC).

Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut.

Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik.

Atmosfer bumi terdiri dari bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah “gas rumah kaca”. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat, dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari yang cukup.

Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas matahari. Sebagai perbandingan, planet mars yang memiliki lapisan atmosfer tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur rata-rata -32o Celcius.

Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbeda-beda.

Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metana menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.


Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air.

Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri, walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat. Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan.

Apakah efek netto-nya pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.

Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.

Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.

Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

2.2.2 Akibat Pemanasan Global

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan mengakibatkan perubahan-perubahan yang lain yaitu sebagai berikut.

1. Cuaca yang Ekstrim

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan.

Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 % untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

2. Tingginya Permukaan Air Laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10-25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5% daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

Selain itu dengan adanya pemanasan global suhu permukaan air laut menjadi lebih hangat, sehingga meningkatkan tekanan bagi ekosistem laut seperti batu karang yang menjadi putih. Pada proses ini karang-karang melepaskas ganggang yang memberikan warna dan makanan pada karang, sehingga karang menjadi putih dan mati. Peningkatan suhu air juga membantu menyebarkan penyakit-penyakit yang sangat mempengaruhi kehidupan mahkluk-mahkluk di dalam laut.


3. Hilangnya Lahan Pertanian

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh.

Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.


4. Terganggunya Kehidupan Hewan dan Tumbuhan

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini.

Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah. Beberapa spesies sangat sulit untuk dapat bertahan di habitatnya sekarang.

Beberapa tanaman bunga tidak dapat berbunga tanpa mengalami musim dingin yang benar-benar dingin. Dan kegiatan manusia telah mempersulit tumbuhan dan binatang untuk mencapai habitat barunya bahkan tidak memungkinkan bagi tumbuhan dan binatang untuk mencari habitat baru.


5. Dampak Bagi Kesehatan Manusia

Di dunia yang hangat, para ilmuan memprediksi bahwa lebih banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit malaria; persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen jika temperature meningkat. Penyakit-penyakit tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, seperti demam dengue, demam kuning, dan encephalitis.

Para ilmuan juga memprediksi meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan, spora mold dan serbuk sari. Penderita kanker kulit juga meningkat. Gelombang panas yang terus menerus dapat menyebabkan penyakit dan kematian. Banjir dan kekeringan meningkatkan kelaparan dan kekurang gizi.

Gejala yang sangat jelas terlihat dari pemanasan global adalah berubahnya iklim. Contohnya, hujan deras masih sering datang meski sudah memasuki bulan yang seharusnya sudah terhitung musim kemarau. Menurut perkiraan, dalam 30 tahun terakhir pergantian musim kemarau ke musim penghujan terus bergeser, dan kini jaraknya berselisih nyaris sebulan dari keadaan normal.

Banyak sekali orang yang menganggap, banjir besar yang terjadi pada Februari 2007 yang merendam lebih dari separuh DKI Jakarta adalah akibat dari pemanasan global saja. Padahal 35% rusaknya hutan kota dan hutan di kawasan puncak adalah penyebab makin panasnya udara di Jakarta. Itulah sebabnya, kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya menjadi masalah warga Indonesia melainkan juga seluruh warga dunia.

Sebagai kota yang terletak di pinggir pantai, Jakarta sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. Ironisnya, perencanaan tata ruang Jakarta dari tahun ke tahun justru semakin tidak ramah lingkungan.

Lihat saja saat ini di Jakarta setiap hari lalu lalang sekitar 7,5 juta unit kendaraan, yang semuanya mengeluarkan gas karbon yang mencemarkan udara dan berkontribusi memanaskan bumi.

Di sisi lain, dari waktu ke waktu luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berkontribusi menyerap karbon semakin berkurang akibat pembangunan. Daerah resapan air juga mengalami hal yang sama, hilang dan diganti dengan perumahan, apartemen, dan gedung-gedung megah.

Sebagai warga kota, kita tentu tidak mau Jakarta 40 tahun lagi adalah kota tanpa Ancol, Cilincing, Muara Angke, dan Kepulauan Seribu. Kita juga tidak mau, Indonesia di akhir abad ini adalah Indonesia tanpa Jakarta seperti skenario yang diprediksi para ahli internasional.

Di Amerika Serikat, seperti diberitakan Newsweek (edisi 16-23 April 2007), sebagian besar warganya yakni 83 persen menganggap pemanasan global dan perubahan iklim adalah persoalan yang sangat serius.

Sebanyak 63 persen warga AS menilai negara mereka sedang dalam bahaya lingkungan dan sudah menyamakan dengan bahaya teroris.

Jika AS saja yang memiliki hampir semua sumber daya untuk menghadapi perubahan iklim sudah menyadari dan melakukan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi, Indonesia khususnya Jakarta yang justru memiliki keterbatasan baik dana maupun sumber daya manusia harusnya menyadari dan melakukan upaya lebih dini untuk mencegah dan menanggulangi dampak perubahan iklim.

Saat dunia sedang sibuk menghujat Negara-negara maju yang industrinya mempunyai kontribusi yang besar bagi kerusakan lingkungan, sedangkan di Indonesia sendiri kerusakan hutan sudah sangat - sangat parah. Bahkan Indonesia mempunyai ‘prestasi’: Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam, sebuah angka yang menurut Greenpeace layak menempatkan Indonesia di dalam the Guinness Book of World Records sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia.

Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi berdasarkan data laporan ‘State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO). Menurut laporan tersebut sepuluh negara membentuk 80 persen hutan primer dunia, dimana Indonesia, Meksiko, Papua Nugini dan Brasil mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun waktu 2000 hingga 2005. “Tingkat penghancuran hutan yang luar biasa ini membuat Indonesia layak untukmasuk ke dalam the Guinness book of World Records bergabung dengan Brasil yang saat ini memegang rekor kawasan deforestasi terluas di dunia,” ungkapHapsoro, Juru Kampanye Hutan Regional, Greenpeace Asia Tenggara.

“Angka terbaru ini mencerminkan tidak adanya keinginan maupun kemampuan politis dari pemerintah Indonesia untuk menghentikan kehancuran hutan yang sudah sangat parah ini. Serangkaian bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, kekeringan, erosi besar-besaran semuanya berhubungan dengan parahnya keadaan hutan kita. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh konsesi dan perkebunan telah menobatkan Indonesia sebagai negara pengemisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia,”

Indonesia pantas malu karena telah menjadi negara terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut yang diubah menjadi pemukiman atau hutan industri. Jika kita tidak bisa menyelamatkan hutan mulai dari sekarang, diperkirakan 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10 tahun lagi hutan Kalimantan yang habis, dan 15 tahun lagi seluruh hutan di Indonesia tidak akan tersisa dan disaat itulah kita semua tidak bisa lagi menghirup udara bersih.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan clorofluorocarbon (CFC) yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan mengakibatkan perubahan-perubahan yang lain seperti meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang menimbulkan cuaca yang ekstrim, tingginya permukaan air laut, hilangnya lahan pertanian, terganggunya kehidupan hewan dan tumbuhan, serta dampak bagi kesehatan manusia.

Cara membatasi global warming adalah dengan membatasi emisi CO2 dan menanam pohon sebanyak mungkin yang berfungsi menekan tingginya peningkatan CO2.

3.2 Saran

1. Dengan mempelajari ini, kita dapat lebih mengetahui apa saja fenomena-fenomena alam yang diakibatkan dari pemanasan global.

2. Sebagai salah satu makhluk yang tinggal di bumi, kita seharusnya bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada tempat kita tinggal yaitu bumi. Oleh karena itu sebagai salah satu bentuk implementasi dari tanggung jawab tersebut terhadap pemanasan global adalah dengan berusaha semaksimal mungkin menghemat penggunaan energi.


This entry was posted on Minggu, Januari 03, 2010 at Minggu, Januari 03, 2010 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar